Novel Ulid: Mesin Waktu yang Ajaib
“Gembala adalah pekerjaan para Nabi. Dan hutan adalah
tempatnya orang-orang sakti.” - Ulid -
Beberapa
minggu yang lalu saya secara tidak sadar sempat memasuki mesin waktu. Saya
dibawa kembali ke tahun 80-an. Menjadi anak kecil yang mengganggu bapaknya bekerja
dengan menyajikan aneka pertanyaan. Menjadi penggembala, menaiki kambing menuju
padang rumput dan mengalungkan radio kecil di leher, diiringi alunan tembang
Waljinah sambil menggelengkan kepala mengikuti alur nada. Meniru pekerjaan
orang tua agar terlihat lebih dewasa ketimbang kawan sepermainan. Menyusuri
areal persawahan, menerobos hutan, berharap ditemui kru tivi untuk dijadikan tokoh
utama dalam acara Si Bolang.
Namun
setelah kurang lebih sehari mengarungi jagad 80-an, saya baru menyadari bahwa
saya belum pernah memiliki kambing, apalagi menggembalakannya. Desa tempat
tinggal saya pun tak memiliki padang rumput. Mayoritas penggembala di desa saya
lebih sering mengandangkan gembalaannya lalu mencarikan rumput liar tepi
tegalan sawah untuk jadi santapannya sehari-hari. Eh sebentar, tahun 80 ? Saya belum lahir!
Setelah
tertegun dan linglung beberapa saat, saya cek sampul mesin waktu ajaib ini.
Mungkin saja saya menemukan semacam petunjuk. Jangan-jangan ini mesin waktu
dari Doraemon, siapa tahu ?
Di
sampulnya, saya menemukan dua nama. Ulid dan Mahfud Ikhwan. Mahfud Ikhwan! Ya,
penjaja gorengan di dekat rumah. Mas-mas penjual gorengan mencipta mesin waktu
versi novel?
Biodata
seadanya yang dicantumkan di lembar belakang memaksa saya untuk mengeksplor
lebih jauh. Itulah sebabnya saya tanya Google,
karena mungkin saja beliau kenal dekat dengan Google, atau malah pernah sekelas
ketika kuliah. Mesin pencari ini membawa saya kepada foto mas-mas yang tidak
begitu asing bagi saya. Tapi ternyata bukan penjaja gorengan dekat rumah. Beliau
adalah mas-mas asal Lembor, Brondong, Lamongan. Lahir pada tahun 1980. Sarjana
sastra Indonesia UGM tahun 2003. Mempunyai hobi menulis semenjak kuliah dan sekarang
sudah mengarang
tiga novel dan satu kumpulan cerpen. Ulid tak Ingin ke Malaysia (2009), Lari
Gung! Lari! (2011), Kambing dan Hujan (2014), dan (kumcer) Belajar
Mencintai Kambing (2016). Lalu Google
mengarahkan saya kepada web “dushman duniya ka” dan “belakang gawang”
yang ternyata isinya adalah anak ruhaninya dalam hal film-film India dan persepakbolaan.
Setelah saya meneliti dan memandang rupa beliau di foto, saya dapati ternyata
beliau mirip Ameer Khan. Ameer Khan yang lincah menggocek bola.
Dulu
tulisan beliau sering terbit di kolom majalah Annida. Bagi anda yang tidak
asing dengan majalah ini, silahkan cari dan dapati tulisan beliau yang bernama
pena Lee Ma Hwan.
Kok
malah namanya mirip artis Korea?
Setelah
menelusuri profil beliau, saya menuju satu nama lagi yang tercantum di sampul
novel. Ulid. Inilah tokoh yang tubuh mungilnya sempat saya masuki. Jika Ulid
adalah manusia, saya adalah jin yang merasuki tubuhnya. Tapi bukannya menguasai
tubuh Ulid, malah saya yang dikuasai. Diajak berkelana ke Lerok, desa yang kaya
akan gamping dan bengkuang, dan tivi yang hanya mangkrik di 2 rumah saja
dari sekian banyak rumah dalam satu desa. Itupun hitam-putih.
Dunia
batin yang dibangun mas Mahfud dalam tubuh Ulid sungguh begitu lanyah
untuk dirasuki. Seperti ketika Ulid kecil tertidur di masjid waktu salat Jumat
karena mendengarkan radio hingga larut malam dan menceritakannya kepada teman
sepermainan ketika kotbah berlangsung. Ulid pun jadi perbincangan hangat di
desanya. Sungguh, kejadian seperti ini menjadi aib tersendiri bagi keluarga
Ulid. Setelah segala sebab kejadian memalukan ini diketahui Kaswati, emaknya,
baterai radio pun jadi sasaran. Disembunyikan. Ulid tahu siapa yang
menyembunyikan. Ulid tahu bahwa ini adalah sebuah hukuman. Ia pun tidak terima
dan memutuskan untuk menghukum balik emaknya dengan cara kabur dari rumah. Ke kulon,
ke arah kerajaan Madangkara, begitu katanya. Terinspirasi dari sandiwara radio
yang sering ia dengar. Tapi apalah
daya anak 5-6 tahun, akhirnya runtuh juga pendiriannya setelah ia merasa sangat
lapar, dan merasa takut karena teringat kisah hantu-hantu.
Saat
Ulid beranjak dewasa, saya dihadapkan lagi pada pergolakan batin yang dialami
Ulid. Ketika Tarmidi, bapaknya, tersandung sebuah masalah sehingga dibuang dari
tempat kerjanya, Malaysia. Ekonomi keluarga yang menunggang badai memaksa Kaswati
berkelana ke Malaysia, menggantikan Tarmidi. Masalah kedua orang tuanya mempertemukan
Ulid kepada dua pilihan yang rumit. Meneruskan kuliah atau ikut menyusul ibunya
bekerja. Dia berfikir
kembali apakah yang dialami orang tuanya ini semacam hukuman karena telah
menggadaikan kambing yang sangat ia cintai?
Katrin Bandel, kritikus sastra Indonesia, telah
membandingkan penggambaran karakter tokoh novel Ulid dengan novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (1982-1986). Meskipun latar ceritanya sama
mengangkat sudut pandang pedesaan, dunia batin Srintil dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk belum bisa ia masuki seperti ketika ia memasuki dunia batin Ulid. Alhasil,
novel setebal 535 halaman ini mampu memaksa saya untuk menikmatinya dengan
sekali duduk. Paling-paling hanya diselipi salat, mandi, atau makan.
Novel
Ulid yang lahir di tahun 2016 ini sebenarnya adalah reinkarnasi novel pertama
beliau, Ulid tak Ingin ke Malaysia. Dengan beberapa perubahan: wajah sampul yang baru, masuknya satu
fragmen di bab 8 yang pada edisi pertama dihilangkan karena alasan efisiensi
halaman, dan beralihnya bab 8 dan bab 9 dari bagian pertama ke bagian kedua.
Tak banyak berbeda, hanya saja novel pertamanya terbit ketika novel Laskar
Pelangi karya Andrea Hirata sedang booming, sehingga
novel Ulid tenggelam dan sulit ditemui.
Google
menyeret saya lagi menuju sebuah petunjuk yang menjelaskan bahwa novel ini
disadur dari kehidupan nyata yang ia alami. Saya menemukan bahwa desa kelahiran
Mas Mahfud ternyata juga kaya akan gamping dan bengkuang. Sama dengan Lerok. Kecurigaan
saya bertambah.
Setelah
saya telusuri lebih dalam lagi, ternyata dugaan saya benar. Ulid sebenarnya
adalah kakak kandung beliau. Bahkan dalam novel pertama beliau tercantum
kalimat “based on true story”. Rindu menciptakan kampung halaman tanpa
alasan. Sitiran lirik Silampukau ini mungkin menggambarkan mengapa beliau
menulis novel tentang kakaknya.
Jika anda belum pernah merasakan bagaimana rasanya
kembali ke masa kanak-kanak, buku ini layak untuk anda jadikan mesin waktu.
Meskipun anda dan Ulid bukan berasal dari satu daerah, Ulid tetap akan membawa
anda menuju masa kanak-kanak dengan tingkah lakunya yang cluthak.
Kini Ulid sedang nongkrong di perpustakaan
Misykati, menunggu teman selanjutnya untuk diajak berkelana ke banyak tempat.
Bagi anda yang rindu dengan Indonesia, Ulid akan mengantarkan anda meski sehari saja menjadi orang lain. Menjadi penggembala dan pengelana.
Labels
Resensi
No comments:
Post a Comment