Pelampiasan Sambil Colak-colek Kiri-kanan
Bagaimana
perasaan kalian jika dihubungi oleh seseorang dengan nomor telepon yang
tersimpan rapi dalam folder kontak atau kurang lebih sekilas terlihat familiar?
Sejurus kemudian, kata-kata dan durasi yang dikeluarkan pelaku di balik gawai
tersebut prosesnya persis seperlambungan umpan Andrea Bonucci menuju
Giaccherini saat Italia jumpa Belgia. Datang dari medan pertahanan sendiri
mengarah ke area kubu lawan. Datang tiba-tiba memecah kesunyian suasana. Datang
tak diundang menjebol jala gawang lawan.
Memang
yang menetes adalah klise yang mengalun pelan dengan napas pendek. Semacam aku
sayang kamu dan berbagai variasinya katakanlah demikian. Tapi yang membuat
saya tidak berhenti tertawa pada pagi hari itu adalah hal tersebut (terpaksa)
dilakukan dilambari untuk menjunjung konsekuensi aturan main. Dialasdasari
sebagai hukuman atas kekalahan dalam sebuah permainan. Itu adalah pemandangan
beberapa minggu lalu.
Ya,
selepas berjibaku dengan ujian term 2 yang cukup membuat bengep anggota badan
dan pengap keadaan diri. Perang melawan diri sendiri. Dar der dor di sana-sini. Dihajar
rutinitas yang menjemukan. Tak dinyana suasana tersebut berlanjut sampai bulan
Ramadan.
Menahan
apa-apa dalam hal duniawi untuk lebih mendekatkan diri pada Yang Kuasa. Tidak
seenak udel dalam ucapan dan perbuatan. Mengerem dan mengontrol euforia. Tidak
menggelembungkan diri sendiri dan keyakinannya sembari menggembosi yang
berbeda. Terima kasih Arthur Harahap atas kalimat terakhirnya, setidaknya memberi
harapan akan literasi Indonesia di masa depan baik-baik saja.
Ibadah
tersebut berbarengan dengan ibadah lain. Ibadah sakjeroning ibadah.
Terasa spesial bagi siapapun penganut adagium “sepakbola adalah agama kedua”. Pentasnya manggung
di dua benua yang saling berebut penonton. Bisa dibilang adu rating dalam adu
sepak. Dan yang manggung tak terkira banyaknya. Dari negara penghasil kartel
gembong narkoba terbesar sampai negeri juara dunia lima kali. Dari tempat
lahirnya Bob Marley sampai asal mula penobatan Maradona menjadi Tuhan. Dari
timnas yang jumlah gunungnya lebih banyak dari pemain profesional sampai timnas
yang memperoleh bakat dan talenta sepakbola dari pengungsian, pekerja-pekerja
imigran dan mereka yang kawin-mawin dengan orang perantuan. Kesebelasan yang
memandang taktik sebagai sains, bagian dari ilmu pengetahuan. Isinya persamaan,
rumus dan pola. Dan kesebelasan lain yang melihat taktik sebagai gairah dan
seni, ia bagian dari kehidupan masyarakat yang penuh intrik dan konspirasi.
Berjajar
pemain dan pelatih dari papan atas hingga bocah kemarin sore. Gabor Kiraly (menyenangkan
melihat pak tua dengan celana guru olahraga mengawal jala Magyar) Renato
Sanches (rambutnya sekelebat lebih mengingatkan saya akan mantan ketua Misykati
ketimbang permainannya) Antonio Conte (selalu terkenang dengan gayanya yang
tidak mau diam dan selalu mencak-mencak di pinggir lapangan) Fernando Santos
(siasatnya yang sangkil-mangkus di final membuat sebagian besar penghuni planet
ini menekuk muka dan berleleran ingus).
Tapi
yang membuat dunia berduka cita sekaligus terhibur adalah rivalitas kedua
pemain paling sekaliber yang melangit di jagad bumi. Bahwa keduanya tidak bisa
dipisahkan adalah sebuah keniscayaan. Sungguh terpilih, keduanya mampu
membawa masing-masing kesebelasan berdiri gagah di final. Hanya saja dewa-dewa
sepakbola memilih salah satu saja agar bahagia, puas lahir batin. Dia yang
menangis lebus adalah Alien pengemplang pajak yang gagal untuk kedua kalinya
mempersembahkan piala bagi rakyatnya. Sedangkan satunya Bapak Jomblo
Internasional menangis bahagia walau menit bermainnya pada laga pamungkas
tersebut jauh lebih pendek ketimbang adek-adek Masisir berdandan.
Berdenyar
oleh korporasi dan iklan-iklan yang tak habis-habis berjejalan dan merajalela
dimana-mana, industri
yang digenjot dan didayagunakan hanya akan berhenti jika kiamat datang seperti halnya Israel-Palestina,
sejarah panjang kolam berlumpur merah yang tak terpermanai.
Terimakasih
telah membaca selama satu
menit. Itu hanya pemanasan setelah lebih setengah tahun tidak menulis
(mahasiswa macam apa ini). Siapa tahu ada yang ingin dengar cerita saya atau
mengikuti jejak tapak tulisan saya selama tiga bulan terakhir. Sebenarnya berlapis-lapis
paragraf di atas bisa saja saya urai
untuk disajikan sebagai status dalam media sosial. Entah ditabur di fb, twitter, instagram dll. Sialnya
saya orang yang malas untuk mengotori beranda orang lain. Walau internet
menyala dengan kencang, menuliskannya
dengan utuh di sini adalah pelampiasan. Dan mungkin malah menyalahi aturan dan
kode etik (web Misykati). Ya bodoh amat. Sekali lagi, bodoh amat.
Media
sosial seringkali menjadi jembatan putus bagi beberapa mahasiswa –dalam hal ini saya lebih menyoroti kawan
sepertiduran dan sejagongan yang tidak lain adalah Misykatian.
Kalimat pertama di atas saya simpulkan setelah melihat
segelintir orang (baca: anak Misykati) dengan kebebasannya
bermain Instagram, ngetwit,
atau membaca tulisan-tulisan situs lain lupa
bagaimana caranya membaca sebaran web sendiri. Beberapa oknum sering nyetalking
akun orang lain, tapi alpa menengok dan mengonsumsi informasi dalam tubuh
sendiri. Memang, kebebasan
seseorang terbatasi kebebasan orang lain. Namun alangkah
luhurnya jika kebebasan
tersebut ditebus dengan mau bersusah payah membacai tulisan-tulisan yang njedul
di situs sendiri. Kendati tidak sebagus dan seciamik yang diperkirakan. Tapi
percayalah apresiasi yang nyata dalam mendaku bangga sebagai warga adalah melek
lingkungan dan acuh dengan apa yang dimilikinya. Sekali lagi, melek lingkungan
dan acuh dengan apa yang dimiliki.
Oke satu kasus sudah saya sentil. Selanjutnya, selain
web yang baru berbenah setelah setahun lalu tersaruk-saruk, menunggang badai
lalu sekarat, kami
juga mempersiapkan diri guna mengajukan sebuah perpustakaan Misykati. Tempat membuka
jendela dunia. Bersemayamnya jutaan cahaya di setiap aksara. Wadah pemantik
peradaban berbercak keilmuwan. Menyitir Pram: orang rakus harta-benda selamanya tak
pernah membaca cerita, orang tak berperadaban, Dia takkan pernah perhatikan
nasib orang. Apalagi orang yang hanya dalam cerita tertulis.
Semacam
tanda tanya besar, mahasiswa macam apa yang tidak pernah keluar masuk
perpustakaan. Mahasiswa macam apa yang hanya membangun peradaban bermodal
bermain game Civilization. Bolehkah saya menggaruk-garuk pusar?
Bolehkah saya umak-umik seperti ikan koi?
Setidaknya
dengan turut muncul ke perpustakaan adalah guna meramaikan buku daftar
peminjaman. Barang sedikit dengan melancong ke sana menambah corat-coret
lembaran kitab ijin pemakaian.
Sekurang-kurangnya
di dalam perpustakaan kita bisa mendapati buku bacaan yang mengilhami seseorang
untuk menghibur diri. Sesuatu semacam kiat sukses lajang dan bahagia meskipun
ditikung berulang-ulang, atau teknik menulis sumpah serapah sabur limbur dengan
baik. Terlebih melakukan gerakan untuk perubahan yang lebih besar seperti, kiat
sukses menyamar dalam organisasi/kabinet atau kiat sukses mendirikan khilafah.
Di
bawah asuhan pustakawan amatir kita
(colek Stad Firdos a.k.a Pakenton) yang dibuang ke sini
yang juga merangkap menjadi redaktur utama web Misykati, semoga perpustakaan kita berkembang secara
signifikan,
baik buku dan peminjamnya,
dan web dikelola secara ajek dan berkala. Saya tidak menjamin buku-buku di atas
berserakan di perpus yang baru menggelinding tidak lebih 64 hari. Akan tetapi
dengan membaca apa saja (buku non-pelajaran dan konten web) yang jelas bisa
memperkaya kosakata dan menumbuhkan minat baca.
Buku,
perpustakaan,
dan internet adalah hak kebutuhan setiap warga. Karena kebodohan dilaknat baik
negara dan agama.
Oia, rak bukunya sudah dicat hitam mengkilap dan
backdropnya juga sudah dicorat-coret kaya grafiti gitu. Sila mampir kalau tak
percaya!
Labels
Kaca Benggala
No comments:
Post a Comment